Tuesday, February 7, 2012

IEI dalam menyikapi kebijakan DHE

Importir Luar Negeri belum Terlalu Percaya Bank Lokal



EKSPORTIR menyambut baik rencana bank sentral mewajibkan mereka menyimpan dana di perbankan dalam negeri. Namun, bank diingatkan agar memperbaiki pelayanan dan rnembangun kepercayaan pembeli di luar negeri.
"Ini kebijakan yang sangat baik. Kita juga ingin mendukung perbankan dalam negeri. Tetapi perlu ada komitmen per-bankan dalam hal pelayanan dan korespondensi luar negeri," ujar Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Amalia Achyar, Sabtu (10/9).
Bank Indonesia (BI) berencana mewajibkan devisa hasil ekspor dan pinjaman luar negeri, baik pemerintah dan swasta, disimpan di bank di dalam negeri. Pengaturan itu bertujuan memperkuatsuplai likuiditas valuta asing dalam negeri {Medio Indirtesia, 10/9).
BI mencatat devisa hasil ekspor yang disimpan di bank luar negeri sampai Juli ini US$29,5 miliar dan pinjaman luar negeri yang tidak masuk di perbankan nasional sekitar US$2, s miliar.kebijakan BI akan dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) yang terbit bulan ini.
Menurut Amalia, banyak eksportir v.ing menyimpan dana di sistem keuangan luar negeri karena pertimbangan minimnya kepercayaan pembeli (importir) terhadap bank-bank di dalam negeri
"Buyei lebih percaya pada lembaga keuangan atau bank asing, sehingga eksportir ter-p.iks.i buka id mini (rekening) di luar negeri," jelasn
Selain itu, Amalia menam-bahkan, eksportir cenderung memilih bank di luar negeri karena pelayanannya lebih cepat ketimbang bank dalam negeri. Bagi ptnguihj waktu adalah uang. Kelambanan pelayanan berakibat kerugian bagi mereka.
Apalagi, selama ini peng-usaha juga kerap kesulitan mendapatkan kredit dari bank dalam negeri. Hal itu semakin mendorong banyak eksportir beralih ke bank di luar negeri "Jadi harus ada komitmen perbankan dalam negeri untuk tidak mempersulit kredit. Selama ini perbankan dalam negeri terlalu tidak mau ambil risiko," jelasnya (AI/Ant/X-10)

Menyikapi Regulated Agent (RA)

Kargo Lambat, Usaha Makanan Rugi Besar


Keterlambatan kargo akibat penerapanagen inspeksi merusak makanan dan minumandengan masa kedaluwarsa pendek.

Gayatri Suroyo

Al L RAN baru peme-riksaan kargo dengan regulated agent (RA) atau agen inspeksi terus dikeluhkan pelaku usaha. Keluhan terakhir datang dari industri makanan dan minuman.
Keterlambatan pengiriman barang akibat pemberlakuan RA temyata telah membuat mas.) jual produk di toko semakin pendek. Bahkan ada barang yang rusak HM Sekretaris lenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani mengungkapkan hal itu kepada Media Inda, Jakarta, kemarin.
Ia mengaku belum dapat mengestimasi nilai kerugian industri makanan dan minuman akibat pemberlakuan K \ Namun, Franky memastikan jumlahnya cukup besar.

" terjadi keterlambatan sangat serius dari sisi waktu. Produk pangan ini kan bukan hanya masa Hfc cyc/e-nya sangat terbatas, beberapa produk jadi masalah sangat serius. Artinya, dampaknya terjadi kelambatan pemasukan dan mengakibatkan kerusakan KW... Menurut kami, ini berat sekali," jelas Franky.
Beberapa produk makanan dan minuman bisa bertahan hingga enam bulan, misalnya makanan kaleng, atau tahunan misalnya rendang. Namun, beberapa produk lainnya lebih cepat rusak, semisal susu karton.
"Banyak yang life eyde-nya di bawah tiga bulan. Yang seperti ini kan diharapkan masa jual bisa lebih panjang," kata Franky.

Kerugian tak hanya dari segibarang. lrank\ juga mengeluhkan biaya RA \ ang naik tidak wajar dari Rpt5/kg menjadi Rp850/kg.Naik 20%
Di sisi lain. Ketua Lmum Ikatan Eksportir Importir Amalia  mengatakan, akibat pemberlakuan RA, biaya yang mereka keluarkan naik 1H-20. dari normal. Itu kerugian akibat penaikan tarif pengiriman dan keterlambatan, belum termasuk kerusakan barang produk cepat kedaluwarsa.
"Saran kami, RA itu alatnya jangan ada di bandara saja, tetapi juga ada di gudang. Jadi, kami enggak ada tambahan ongkos bongkar dan ongkos tracking," kata Amalia.

Saal menanggapi keluhan itu, jubir Kementerian Perhubungan Bambang S Ervan mengatakan Kementerian Perhubungan dan tim ke-riln) .i saat ini tengah mengevaluasi penerapan RA terkait tarif pemeriksaan dan prosedurmenja-di RA. "Bahkan akan ada kebijakan insentit. Kelak untuk menjadi operator RA tidak perlu membuat badan hukum baru. Akan tetapi, mereka tetap harus punya kemampuan memeriksa sesuai dengan standar RA," kata Bambang.
Di sisi lain, menurut pemantauan Angkasa Pura II, aktivitas bongkar muat di Bandara Soekarno-Hatta berjalan normal.

Kalaupun ada keterlambatan pengiriman, itu masih dalam cakupan on time performance yang ditetapkan pemerintah. Sejauh ini juga tidak ada yang mogok," ujar Corporate Secretary Angkasa Pura II Hari Cahyono. (*/X-9)gayatri@mediaindonesia.com

Menyikapi Barang Impor Ilegal

Jabar Jadi Pasar Barang Impor Ilegal


BANDUNG, (PRLM).-Krisis finansial dunia diduga menyebabkan Jawa Barat kebanjiran produk impor ilegal. Dengan jumlah penduduk yang besar, belum optimalnya penangkalan penyelundupan, dan masih lemahnya daya saing produk, membuat Jawa Barat menjadi pasar yang sangat menarik untuk para eksportir asing. 

Demikian benang merah dari wawancara terpisah dengan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar, dan Ketua Ikatan Eksportir Importir Indonesia. Mereka menilai kondisi tersebut harus segera diantisipasi, karena akan semakin menekan sektor produksi Jabar yang saat ini sedang menghadapi masa sulit.

"Dengan semakin banyak sektor produksi kita yang kalah oleh produk impor, ancaman peningkatan angka pengangguran dan penduduk miskin akan semakin meningkat," ujar Ketua Kadin Jabar, Agung Suryamal Sutisno, Selasa (31/3).
Dikatakan, membanjirnya produk impor ke Jabar, merupakan hal yang logis. Karena dengan adanya krisis, negara-negara tujuan ekspor tradisional berkurang daya serapnya. Sehingga para eksportir dunia harus mencari pasar-pasar ekspor nontradisional, dan Jabar merupakan salah satuya yang potensial.

Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Agung, kata kuncinya adalah meningkatkan daya saing produk. Karena dengan masuknya Indonesia dalam WTO dan dalam era perdagangan bebas saat ini, sangat sulit untuk menerapkan proteksi produk. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang menodorong penngkatan daya saing sangat diperlukan.

"Riilnya, penurunan suku bunga, permudahan dan pemurahan perijinan usaha, pengurangan ketergantungan bahan baku, pendorongan sentimen cinta produk dalam negeri, dan hal-hal yang mendukung iklim usaha kondusif, akan menaikan daya saing produk. Jelas untuk itu perlu sinergi efektif dari berbagai pihak," katanya.

Sementara Ketua Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia, Amalia Achyar mengatakan perlunya segera dilakukan reformasi dalam perijinan di dunia usaha. Karena banyaknya aturan yang tumpang tindih, tidak konsisten, dan memberatkan, menjadi salah satu faktor utama yang mengurangi kemampuan dunia usaha. Baik dalam hal meningkatkan daya saing produk, maupun untuk mengembangkan usaha.

"Menurut hitung-hitungan kami jika semua aturan, mulai dari Undang-Undang sampai ke Peraturan di tingkat Kota/Kab dalam kondisi agak ideal, bisa menurunkan harga-harga produk 15%-20% ," katanya. (A-135/A-190/A-

Menyikapi Denda Kepabeanan

Jumat, 11/07/2008 09:53 WIB
Importir protes denda kepabeanan di Priok
:
detikcom - Jakarta, Sejumlah importir umum dan produsen mengeluhkan pengenaan sanksi berupa denda administrasi kepabeanan untuk peti kemas impor yang masuk pemeriksaan fisik jalur merah di Pelabuhan Tanjung Priok.

Ketua Umum Ikatan Importir Eksportir Indonesia Amalia Achyar mengatakan pengusaha keberatan terhadap kebijakan denda itu. Denda ditanggung oleh importir yang dihitung dari nilai bea masuk yang kurang dibayarkan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu dari Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tanjung Priok.

Menurut dia, organisasinya banyak menerima keluhan dari importir di Pelabuhan Priok mengenai sanksi itu. Kondisi itu berlangsung setelah penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke KPU Bea Cukai Tanjung Priok, beberapa waktu lalu.

Dia menuturkan setelah penggeledahan KPK, instansi Bea dan Cukai di pelabuhan itu mengambil jalan pintas dengan langsung menerbitkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran bea masuk (SPKPBM) terhadap dokumen impor barang yang diajukan importir.

Dengan begitu, importir diharuskan membayar denda sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.28/ 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

"Akibatnya, importir tidak diberi kesempatan membela diri karena tidak pernah diberitahukan nilai denda serta perhitungannya seperti apa. Kalaupun mengajukan keberatan, prosesnya sangat lama dan perlu jaminan. Itu pun belum tentu barang kami bisa cepat keluar dari pelabuhan," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Amalia memaparkan sebelum penggeledahan KPK ke KPU Bea Cukai Priok, instansi itu memproses penetapan denda administrasi atas kekuarangan pembayaran bea masuk melalui beberapa tahap.

Dalam hal ini, lanjutnya, setelah importir menyerahkan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB), importir memperoleh informasi nilai pabean (INP) setelah dilakukan pemeriksaan dokumen oleh petugas fungsional pemeriksa dokumen Bea dan Cukai.

Selanjutnya, importir menyerahkan deklarasi nilai pabean (DNP) kepada Bea dan Cukai untuk dilakukan pengecekan kembali sebelum dikeluarkannya penetapan denda administrasi akibat kekurangan pembayaran bea masuk tersebut.

Menurut dia, dengan tidak lagi diterbitkannya INP oleh petugas pemeriksa dokumen Bea Cukai sangat menyulitkan bagi importir untuk mengetahui nilai pabean yang harus ditanggung.

"Saat ini, importir tidak pernah lagi memperoleh informasi nilai pabean tersebut. Tetapi, langsung dikenakan denda jika terjadi kekurangan pembayaran bea masuk. Bahkan, ada yang terkena denda 1.000%," ujarnya.

Dibantah

Kushari Supriyanto, Kepala KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok, saat dikonfirmasi Bisnis membantah instansinya tidak lagi menerbitkan INP. Dia mengatakan sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.P.01/BC-2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean, bea masuk ditentukan berdasarkan kriteria importirnya.

Adapun, dokumen INP ataupun DNP diterbitkan bagi impor yang melalui pemeriksaan jalur merah. Untuk impor barang yang masuk kategori berisiko tinggi dokumen INP dan DNP tidak akan diterbitkan, sedangkan yang tergolong berisiko sedang, dokumennya tetap diterbitkan.

Dalam PP No.28/ 2008 disebutkan apabila ada kekurangan sampai 25% dari bea masuk yang harus dibayarkan, importir dikenakan denda 100% dari kekurangan bea masuk.

Sementara itu, jika ada kekurangan di atas 25% dari bea masuk, dikenakan denda 200% dan kekurangan di atas 50% sampai 75% akan dikenakan denda 400%. Selain itu, jika importir kurang membayar bea masuk di atas 100% dari yang ditetapkan, akan dikenakan denda administrasi 1.000% atau sepuluh kali lipat dari kekurangan bea masuk itu.

Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta Widijanto mengatakan pemerintah perlu meninjau ulang pengenaan denda administrasi kekurangan nilai pabean tersebut untuk menggairahkan dunia usaha kepelabuhanan.

Menyikapi tingginya Tarif Lini II

KOMPAS

Kamis, 4 Desember 2008 | 12:59 WIB

JAKARTA, KAMIS- Ketidakjelasan jenis dan komponen tarif, kolusi di antara penyedia jasa pelabuhan, serta pelanggaran atas kesepakatan atas tarif pelayanan jasa impor untuk Less Container Load(LCL) masih kerap terjadi di Lini II Pelabuhan Tanjung Priok.
Hal ini menyebabkan membengkaknya beban-beban yang harus digelontorkan oleh para eksportir dan importir, sehingga berpotensi menurunkan daya saing.Demikian hal ini terungkap dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI), bekerja sama dengan Senada, Kamis (4/12) di Jakarta.
Menurut Industry Advisor Senada Sinta Aryani, pengguna jasa pelabuhan kerap dikenai biaya yang lebih tingi dari yang disepakati oleh Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) dan Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) pada tanggal 28 Mei 2007 silam.
"Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 kesepakatan tersebut, pengguna jasa hanya dapat dikenai sembilan komponen tarif, namun data faktualnya, komponen tarif yang dikenakan lebih dari sembilan item, " ujar Sinta.
Menurutnya, pelanggaran ini kerap terjadi akibat penegakan hukum yang masih lemah. Administrator Pelabuhan, yang sebenarnya memiliki kewenangan hukum untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi, saat ini masih belum memberikan sanksi maupun peringatan apa pun.
Sementara itu, ketidakjelasan jenis dan komponen tarif disebabkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 72 tahun 2005 Pasal 1 ayat b3, yang mengatur masalah tarif, bersifat multi interpretatif, yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengutip dan menentukan besaran biaya-biaya yang tidak jelas peruntukannya, seperti biaya Gerakan Extra, materai, Rubah Status, dan lainnya."Kami tidak bisa berbuat apa-apa, selain membayarnya. Kami takut barang kami 'disandera', dan mengganggu kelancaran bisnis," ujar Ketua IEI Amalia Achyar.
Menurut Amalia, kolusi antara penyedia jasa pelabuhan, seperti penyedia gudang, dan perusahaan bongkar muat terjadi karena importir tidak dapat menunjuk langsung gudang yang diinginkan. Padahal, perusahaan penyedia gudang dapat menentukan harga sewa yang berbeda-beda terhadap gudang yang sama.
"Importir tidak dapat memilih gudang A, walaupun gudang tersebut lebih murah. Penyedia jasa pelabuhan selalu melakukan transaksi sepihak dalam penentuan gudang, tanpa melibatkan importir," kata Amalia.
"Importir berada di pihak lemah, dan menjadi sasaran empuk penyedia jasa pelabuhan," imbuh Sinta.
Dengan demikian, baik Senada maupun IEI sepakat akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk merevisi Kesepakatan Bersama, yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh stakeholder pelabuhan, seperti forwarder, perusahaan bongkar muat, administrator pelabuhan, dunia usaha, tempat penimbunan sementara, pelayaran, dan lainnya.
Pemerintah juga perlu menetapkan jenis, golongan, dan komponen tarif yang dapat dikenakan untuk proses pelayanan peti kemas di Lini II, sehingga kejelasan dan kepastian hukum dapat terjamin.
Pemerintah juga perlu menertibkan praktik bisnis di Lini II, dan melakukan penegakan hukum terhadap penyedia jasa yang melanggar ketentuan.Hal ini diamini oleh Ketua Gafeksi Sjukri Siregar, dan Kepala Administrasi Pelabuhan Tanjung Priok Bobby Mamahit. "Marilah kita duduk bersama membicarakan hal ini. Kita juga dapat meminta pemerintah untuk memberikan regulasi yang tepat," ujar Sjukri.
"Dalam waktu dekat kita dapat mebicarakan kesepakatan baru. Kami yakin, kesepakatan baru dapat berjalan lebih optimal," ujar Mamahit.HIN



JAKARTA
—Para Importir yang tergabung dalam Ikatan Eksportir Importir (IEI) menyambut gembira langkah Departemen Perhubungan (Dephub) untuk menetapkan mekanisme tarif batas atas dan bawah di lini II pelabuhan Tanjung Priok.
“Kami menyambut gembira rencana dari regulator tersebut. Memang sudah saatnya Dephub turun tangan mengatasi tarif Lini II yang memicu ekonomi biaya tinggi bagi para importir. Apalagi aktifitas impor sekarang sedang mengalami penurunan hingga 30 persen,” kata Ketua IEI Amalia Achyar, kepada Koran Jakarta, Jumat (24/4).
Diharapkannya, mekanisme penetapan tarif batas atas dan bawah akan membuat para importir mendapatkan kepastian akan jasa di lini II. “Selama ini tarif yang berlaku tidak sesuai dengan konsensus yang dibuat oleh asosiasi yang terlibat di Lini II. Akibatnya sejak implementasi para importir mengalami kerugian sekitar 1,454 triliun rupiah selama periode Oktober-November 2008,” jelasnya.
Tarif lini II adalah pelayanan jasa barang untuk status peti kemas yang barang-barang di dalamnya dimiliki oleh lebih dari satu pemilik barang (Less Than Container Load/ LCL).
Penetapan tarif tersebut dilakukan pada Mei 2007, dan diimplementasikan dua bulan berikutnya oleh enam asosiasi yang selama ini terlibat dalam akifitas ekspor-impor di Tanjung Priok.
Keenam asosiasi itu adalah DPW Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), BPD Gabungan Importir Nasional (GINSI) DKI Jakarta, DPC Indonesia Ship Owner Asosciation (INSA) Jaya, Asosiasi Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (APTESINDO), Gabungan Forwader dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta, dan DPC Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Tanjung Priok.
Sembilan komponen yang ditetapkan dalam biaya pergudangan adalah biaya penumpukan, biaya mekanik, biaya delivery, biaya retribusi kebersihan, biaya surveyor, biaya administrasi pergudangan, biaya behandel, uang dermaga, dan surcharge.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Maret 2008 telah mengeluarkan putusan yang menyatakan tarif lini II melanggar Pasal 5 UU No 5 /99. Akibat dari praktik tidak sehat tersebut dalam jangka panjang terjadi disinsentif bagi pelaku karena tidak adanya elasitas bersaing.
Lembaga tersebut menyarankan pada pemerintah untuk pemerintah menghentikan praktik ini karena asosiasi tersebut menggunakan dasar hukum menjalankan praktiknya.
Aturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri (KM) No 72/2005 tentang perubahan KM No 50/2003 tentang jenis struktur dan golongan tarif jasa di pelabuhan.
Aturan tersebut membuat lemahnya posisi pengimpor dalam bernegosiasi dengan penyedia jasa penyimpanan karena keterbatasan infrastruktur.
Pada kesempatan lain, Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo), Toto Dirgantoro melihat tarif lini II yang berlaku saat ini, sama saja dengan upaya perampokan yang dilegalkan bagi pelaku usaha karena tarif ditentukan seenaknya. “Jika tidak diikuti, pengguna jasa akan dipersulit saat mengambil barang,” katanya.
“Untuk mengeluarkan kargo sebanyak 0,3 meter kubik saja bisa mencapai enam juta rupiah. Belum lagi pemilik barang juga harus membayar sejumlah pungutan yang mencapai 100 dolar AS per meter kubik,” katanya.
Dia menduga, besaran tarif yang diberlakukan saat ini terdapat refund cost yang masuk ke forwarding hampir 100 dolar AS per kubik yang tidak jelas peruntukkannya.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Laut, Sunaryo menegaskan akan menetapkan ketentuan tarif batas atas dan bawah dalam mata uang rupiah.
“Kami setuju, semuanya dalam rupiah bukan lagi dolar AS karena transaksinya jelas-jelas di dalam negeri,” katanya.
Berdasarkan catatan, komponen tarif lini dua Tanjung Priok adalah sebagai berikut biaya forwarder terdiri atas CFC charge 23 dolar AS/m3/ton, Delivery order (DO) 34 dolar AS/DO, Fee keagenan 45 dolar AS/DO, dan Administrasi forwarder 25 dolar AS/DO
Sedangkan untuk biaya pergudangan adalah penumpukan 2.000 rupiah /m3/ton/hari, mekanik 25.000 rupiah /m3/ton, delivery 25.000 rupiah /m3/ton, retribusi kebersihan 50 rupiah /m3/ton, surveyor (bila diperlukan) 30.000 rupiah per DO, Administrasi CFS 35.000 rupiah per dokumen, behandel (bila diperlukan) 20.000 rupiah perm3/ton, dan surcharge sesuai tarif berlaku
Sesditjen Perhubungan Laut, R. Boby Mamahit menjelaskan, hasil penelitian yang tengah berlangsung di lini dua Priok terhadap perusahaan yang menerapkan tarif tinggi, tidak banyak. “Hanya sekitar 10 perusahaan,” katanya.
Sunaryo mengingatkan, jika tarif batas atas dan bawah sudah diterapkan, maka operator tak bisa lagi bermain-main mematok tarif di luar koridor yang ada.
“Kalau ada yang melanggar, diperingati dulu, kalau belum jera maka kegiatan usahanya di lini dua, bisa dibekukan,” katanya.
Menanggapi hal itu Amalia mengatakan, para importir menyambut gembira jika tarif dikenakan dalammata uang rupiah. “Namun yang terpenting ada komponen yang dihapus seperti kebersihan atau lainnya yang membuat biaya ekonomi tinggi. Satu hal lagi, mekanisme tarif lini II baru ini jangan justru membuat biaya meningkat. Kalau bisa tarifnya menjadi turun,” katanya.[dni]

Tarif lokal forwarding disepakati Pelanggar batas atas kena sanksi


OLEH HENDRA WIBAWA Bisnis Indonesia
JAKARTA Pelaku usaha di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya menyepakati batas atas biaya lokal jasa pengurusan transportasi (forwarding local charge) di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Bobby R. Mamahit mengatakan kesepakatan itu mencakup penetapan lima komponen forwarding impor dan tiga komponen forwarding ekspor.lima komponen impor terdiri dari biaya container freight station (CFS), biaya delivery order (DO), biaya agen, biaya dokumen, dan biaya administrasi. Adapun, komponen ekspor mencakup biaya CFS, biaya pengapalan, dan biaya biii of lading (B/L).

"Kesepakatan itu dibuat berlaku 6 bulan dan efektif mulai 1 Januari 2010," katanya seusai pertemuan dengan pengguna dan penyedia jasa pengurusan transportasi Pelabuhan Tanjung Priok kemarin.Kesepakatan itu dibuat oleh Gabungan Forwarder, Penyedia Jasa Logistik, dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) DKI Jaya mewakili penyedia jasa dengan pengguna jasa yang terdiri dari Cabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), dan Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI).

Bobby menjelaskan kesepakatan itu segera ditetapkan dalam keputusan Dirjen Perhubungan Laut Dephub dalam beberapa hari ke depan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha."Kesepakatan ini merupakan upaya bersama mendapatkan kepastian bagi pengguna jasa pelabuhan mengenai komponen dan
besaran tarif batas atas biaya lokal jasa pengurusan transportasi," paparnya.

Kena sanksi

Dia menegaskan jika penyedia t dan pengguna jasa melanggar kesepakatan itu, pihaknya akan mengenakan sanksi yang akan diatur dalam keputusan Dirjen Perhubungan Laut."Secara teknis akan ada sanksi yang akan kami atur dengan pelaksana sanksi oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta," tutur Bobby.Kepala Bidang Transportasi Laut dan Udara Dinas Perhubungan DKI Jakarta Turipno menegaskan pihaknya siap mengeluarkan sanksi jika penyedia dan pengguna jasa melanggar kesepakatan bersama itu.

"Izin forwarder kami yang mengeluarkan maka sanksi kami pelaksananya," katanya. Ketua DPP IEI Amalia Achyar mengatakan pihaknya menerima kesepakatan bersama itu kendati besaran biaya lokal forwarding masih terlalu tinggi."Sebetulnya masih tinggi tetapi reasonable sehingga kami terima, inti nanti ada evaluasi per 6 bulan," ujarnya.
Dia mengharapkan pemerintah berani menertibkan forwarder nakal yang memungut biaya lokal jasa pengurusan transportasi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan bersama."Selama ini kesepakatan bersama tarif selalu tidak berjalan efektif karena banyak forwarder baru yang tidak masuk dalam Gafeksi. Prinsipnya kami menginginkan ada kepastian hukum dan kepastian tarif," tutur Amalia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPW Gafeksi DKI Jakarta Alfan-suri menegaskan pihaknya menjamin kesepakatan itu akan diikuti oleh seluruh forwarder di Pelabuhan Tanjung Priok."Kami sudah rapat internal dan bertemu dengan forwarder nonanggota yang mendelegasikan kesepakatan dengan pengguna jasa kepada kami," tutur Alfan-suri.

Dia menuturkan pihaknya akan menyampaikan kesepakatan bersama kepada seluruh forwarder di Pelabuhan Tanjung Priok baik anggota Gafeksi maupun non-Gafeksi.

Dia menegaskan pihaknya ingin melaksanakan kesepakatan bersama itu agar keberlangsungan usaha dapat terjamin. "Yang jelas, kalau pengguna jasa mati, kami sebagai penyedia jasa juga mati." (hendm.wibawa@bisnis.oo.id)
Entitas terkait
Ringkasan Artikel Ini 
"Kesepakatan itu dibuat berlaku 6 bulan dan efektif mulai 1 Januari 2010," katanya seusai pertemuan dengan pengguna dan penyedia jasa pengurusan transportasi Pelabuhan Tanjung Priok kemarin.Kesepakatan itu dibuat oleh Gabungan Forwarder, Penyedia Jasa Logistik, dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) DKI Jaya mewakili penyedia jasa dengan pengguna jasa yang terdiri dari Cabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), dan Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI). Kena sanksi Dia menegaskan jika penyedia t dan pengguna jasa melanggar kesepakatan itu, pihaknya akan mengenakan sanksi yang akan diatur dalam keputusan Dirjen Perhubungan Laut."Secara teknis akan ada sanksi yang akan kami atur dengan pelaksana sanksi oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta," tutur Bobby.Kepala Bidang Transportasi Laut dan Udara Dinas Perhubungan DKI Jakarta Turipno menegaskan pihaknya siap mengeluarkan sanksi jika penyedia dan pengguna jasa melanggar kesepakatan bersama itu.




The seminary IEI, organized by Senada-USAID (from American people)

Fri, 05 Dec 2008 18:34:00

From: The Jakarta Post
Mustaqim Adamrah, The Jakarta Post, Jakarta


The government should enforce a limit on sea port charges charged by service providers to help reduce the high cost that traders, in particular importers, have had to bear for far too long, a discussion heard Thursday.

The seminar, organized by Senada the USAID-backed non-profit agency, revealed that service firms operating in the Tanjung Priok port in Jakarta for example -- including forwarding and stevedoring providers as well as storage operators -- had allegedly colluded to fix prices.

This alleged pricing ring "has undermined an agreement" on the guidelines for service charges on imported goods for the less-than-container-load (LCL) category of shipments, resulting in "high costs" for importers using services at the port's line two, said Exporter-Importer Association chairwoman Amalia Achyar.

"Many components of service charges are still unclear, and are not part of the agreement, but suddenly appear," Amalia said.

The port's line two serves imported and exported goods with LCL status -- a status given for categories of goods owned by more than one business and shipped in shared containers.

Amalia said that based on her study, more than Rp 1.45 trillion could be saved annually from the amount now spent on port services used by companies in Jakarta, West Java and Banten alone if the agreement could be properly implemented and efficiency maintained.

The agreement was made in 2007 following negotiations among service providers and users, including a forwarder association and exporter and importer associations.

Sharing Amalia's sentiments, Bonded Zone Employers Association secretary Ade R. Sudrajat said the high costs had been a burden on importers, which had low bargaining power in relation to service providers, as overseas exporters had usually already chosen a service provider for their shipments.

"As a consequence, importers have no other choice but to pay all the charges (demanded) to get their goods unloaded, or else have their goods held up at the port," she said.

Taufik Achmad, a Business Competition Supervisory Commission (KPPU) member, said government intervention was necessary to help enforce the pricing agreement and to guarantee no "abuse of power" by service providers.

"The government must fix maximum service charges at sea ports in a regulation and detail the components of the charges because it knows at what level the business can be run, without exploiting consumers," he said.

"If a business is found to have imposed charges above the limit, it would be in violation of a government regulation and can then be dismissed from the Tanjung Priok port."

In response however, Transportation Ministry director general of sea transportation Sunaryo said the government would permit agreed charges to service providers and users, as stipulated under the 2008 Law on Sea Transportation.

IEI dalam menyikapi kendala regulasi

Bappenas Temukan Ribuan Aturan Hambat Iklim Usaha

TEMPO Interaktif, BANDUNG:—Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menemukan ribuan peraturan di Indonesia yang diindikasikan bermasalah. “Khususnya yang mengganggu peningkatan iklim usaha,” ujar Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas Arif Christiono Soebroto di Bandung, Rabu (25/3).

Penemuan ini, diketahui setelah pihaknya melakukan kajian terhadap peraturan yang diindikasikan bermasalah itu mulai undang-undang hingga peraturan desa. “Jumlahnya banyak sekali, diperkirakan mencapai lebih dari sebelas ribu,” katanya.

Sejak Oktober lalu, menurut Arif, mereka bekerjasama dengan Senada melakukan pemetaan dan pengkajian dengan menggunakan alat bantu Regulatory Mapping (RegMAP). “Alasan utama kami melakukan RegMap ini karena di Indonesia banyak sekali peraturan yang tumpang tindih, berbelit-belit, dan mendistorsi iklim usaha,” ujar Wakil Direktur Proyek Senada David Ray.

Menurut Ray untuk sampel, pihaknya menjaring seribu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah di Pulau Jawa. “Seribu peraturan itu kemudian diseleksi menjadi 144 peraturan,” katanya.

Senada sendiri kata Ray, adalah proyek yang dibiayai United States Agency International Development (USAID) untuk memperbaiki daya saing industri ringan Indonesia. “Fokus kami pada sektor alas kaki, garmen, meubel, suku cadang bermotor, dan kerajinan,” kata Ray.

Menurut Ray, di saat kemajuan makroekonomi yang penting telah dibuat selama 10 tahun, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain dalam upaya mereformasi mikroekonomi dan peraturan. “Ini terlihat dari turunnya posisi Indonesia dari tahun sebelumnya dalam versi terakhir survey International Finance Corporation’s Doing Business,” katanya.

Rencananya, Juli mendatang, Bappenas dan SENADA akan memberikan pelatihan RegMAP kepada pemerintah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. “Dengan kondisi ekonomi dunia yang sulit, kebutuhan untuk menaikkan daya saing nasional melalui reformasi peraturan mungkin lebih mendesak saat ini,” katanya.

Alat bantu RegMap itu juga digunakan untuk mengembangkan bank data tentang peraturan dan perundang-undangan. “Tapi kami perlu melakukan pemantapan karena alat bantu ini harus disesuaikan dengan kebutuhan,” kata Arif.

Ketua Ikatan Eksportir-Importir Amalia Achyar mengatakan, banyak pengusaha yang dirugikan dengan aturan yang menghambat selama ini. “Untuk mengurus perizinan saja butuh waktu paling tidak 130 hari dengan biaya sekitar sepuluh juta rupiah,” ujar Amalia.

Karena itu, kata Amalia, pihaknya mendukung langkah pemerintah dalam melakukan pemetaan dan pengkajian peraturan ini. “Aturan kita memang banyak yang harus dibenahi agar pengusaha mendapatkan pelayanan yang layak,” katanya.
RANA AKBARI FITRIAWAN
Kamis, 26 Maret 2009 | 01:39 WIB


BANDUNG, KOMPAS.com - Peraturan yang tidak konsisten, tumpang tindih, dan memberatkan menjadi faktor yang ikut mengurangi kemampuan bisnis Indonesia menjadi lebih kompetitif dan memiliki daya saing.
Demikian benang merah Seminar Nasional Regulatory Mapping (RegMAP) yang diselenggarakan Bappenas dengan USAID/ Senada di Hotel Santika Kota Bandung, Rabu (25/3). "Regulasi-regulasi yang berhubungan dengan kegiatan usaha sangat mempengaruhi daya saing di dalam maupun di ekonomi global, saat ini ada kebutuhan untuk mengkaji peraturan yang ada di Indonesia dan melakukan perbaikan," Kata Direktur Senada Efrulwan.

Pada saat kemajuan mikroekonomi yang penting telah dibuat selama 10 tahun, kata dia, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain dalam upaya mereformasi mikroekonomi dan peraturan. Hal itu, kata dia diperlihatkan dengan turunnya posisi Indonesia dari tahun sebelumnya dalam versi terakhir survei International Finance Corporation’s Doing Bussines.

"Dengan kondisi ekonomi dunia yang sulit, kebutuhan untuk menaikan daya saing nasional melalui reformasi peraturan adalah mungkin lebik mendesak saat ini," katanya.

Regulatory Mapping (RegMAP) dalah sebuah alat inovatif untuk mengumpulkan dan memilah serta melakukan analisa awal terhadap sejumlah peraturan untuk mempersempit fokus dan konsentrasi pada analisa, selanjutnya melakukan reformasi terhadap peraturan yang bermasalah.

Saat ini RegMAP telah melakukan saringan terhadap sekitar 1.000 peraturan tingkat pusat dan daerah yang berdampak terhadap rantai nilai industri garmen, alas kaki, perabotan rumah, teknologi informatika dan komunikasi, serta komponen otomotif. "Proses penyaringan mengidentifikasi arah kebijakan yang perlu mendapatkan perhatian penting yakni aturan ketenagakerjaan, mekanisme awal usaha dan perizinan, transportasi dan logistik, hambatan ekspor impor serta masalah lingkungan hidup," kata Efrulwan.

Sementara itu, Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas Arif Christiono Soebroto menyebutkan, RegMAP akan diimplementasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. "Upaya harmonisasi regulasi dan perundangan itu sudah dilakukan, buktinya sekitar 3.100-an aturan bermasalah dari sekitar 11.000-an regulasi dari pusat maupun daerah sudah dicabut," kata Arif Christiono.

Ia mengakui, masalah birokrasi berbelit masih menjadi kendala dalam pengembangan daya saing industri. Namun dengan upaya reformasi birokrasi saat ini setahap demi setahap sudah mulai adanya perubahan ke arah yang lebih baik.

Sementara itu Amalia Achyar dari Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia menyambut baik berbagai langkah memangkas birokrasi yang selama ini menghambat proses industri dan peningkatan daya saing industri di Indonesia.

"Bayangkan di Indonesia untuk mengurusi perizinan dan pendirian usaha membutuhkan waktu 130 hari, sedangkan di luar negeri cukup satu hingga dua hari saja," kata Amalia Achyar.

Pada kesempatan itu, Amalia juga mengkritik sistem pelayanan perizinan satu atap atau satu pintu yang digulirkan masyarakat saat ini masih belum efektif.
"Namanya memang satu pintu atau satu atap, namun masih banyak meja. Selain itu ada tahapan yang harus ditempuh berulang contohnya pemeriksaan lapangan (pemlap)," kata Amalia.

Ikatan Ekportir-Importir, kata dia mendukung penuh upaya reformasi regulasi dan aturan-aturan yang bermasalah. "Sebagian besar regulasi yang dicabut menyangkut retribusi, sisanya perizinan dan ketenagakerjaan," kata Arif Christiono menambahkan.

IEI dalam Menyikapi Krisis Ekonomi

VIVAnews - Ketua Ikatan Eksportir Importir Amalia Achyar mengharapkan pemerintah agar jangan membesar-besarkan krisis yang mengena ke industri tekstil dan produk tekstil.
Pasalnya jika masalah industri tekstil terlalu sering disebut terkena imbas krisis, malah akan berdampak buruk pada industri itu.

Menurut Amalia, krisis yang terjadi saat ini perlu disikapi lebih bijak. "Buat kami di industri garmen dan tekstil, upaya pemerintah untuk merangkul dan bagaimana mengatasi industri ini lebih penting," kata Amalia di Jakarta, Selasa 11 Maret 2009. "Jadi jangan disebut-sebut, sektor garmen dan tekstil paling terkena."

Dia mengakui saat ini beberapa industri garmen sudah tutup. "Jumlahnya sekitar 10-15 persen dari 75 anggota kami," ujar Amalia.

Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan anggotanya tutup usaha. Banyak faktor yang mempengaruhi. "Bukan hanya krisis. Kalau perusahaan belum masuk bursa masih tertutup, jadi tidak disebut penyebabnya," katanya.

Namun, terlepas dari faktor penyebabnya, industri ekspor impor harus mulai dirangkul. "Jangan diperbesar, karena akan membuat pembeli di luar negeri takut," ujarnya.
• VIVAnews

IEI dalam menyikapi Peti Kemas yang tertahan

Rabu, 06/08/2008 09:25 WIB

700 Peti kemas tekstil tertahan di Tanjung Priok

:
detikcom - Jakarta, Sedikitnya 700 boks peti kemas impor berisi bahan baku tekstil tertahan di luar kolam Pelabuhan Tanjung Priok sejak 26 Juli 2008. Peti kemas asal China itu diangkut kapal MV Hansa Narvik berbendera Jerman dan rencananya dibongkar melalui terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT).

"Sudah sembilan hari kapal itu belum juga sandar di dermaga dan hanya di luar kolam pelabuhan. Akibatnya, muatan impor terlambat dibongkar di pelabuhan sehingga importir mengalami kerugian cukup besar," ungkap Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI) Amalia Achyar kepada Bisnis kemarin.

Dia mengatakan pihaknya menerima informasi bahwa keterlambatan sandar kapal yang diageni PT Bahari Eka Nusantara. Peti kemas itu disebabkan oleh masalah internal antara pemilik dan kru kapal.

Selain merugikan pemilik barang, kata Amalia, pasokan bahan baku untuk kebutuhan industri tekstil di Jakarta serta Jawa Barat dan sekitarnya terhambat sehingga produktivitas industri itu terancam menurun.

"Ini merupakan kelalaian dari perusahaan pelayaran pengangkut peti kemas impor tersebut," paparnya sambil menambahkan setidaknya ada tiga perusahaan pelayaran yang menggunakan ruang kapal tersebut, yakni Benline, CNC Line, dan Yangming Line.

Manajer Humas PT JICT Agus Barlianto mengatakan pihaknya akan menjadwal ulang bongkar muat kapal tersebut jika proses permohonan sandar kapal dan bongkar muat telah diajukan oleh perusahaan pelayaran bersangkutan.

"Kami selalu siap melayani bongkar muat sepanjang sudah ada permintaan," ujarnya saat dikonfirmasi Bisnis mengenai masalah itu.

Data Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) pelabuhan Tanjung Priok menyebutkan permohonan izin sandar MV Hansa Narvik baru diajukan kemarin, dan rencananya sandar pada pukul 20.00 WIB pada malam harinya.

Muatan kapal tersebut akan dibongkar di dermaga JICT-1 dengan muatan peti kemas sebanyak 793 TEUs (twenty-foot equivalent units).

IEI dalam menyikapi pungutan PNBP dan EDI

VIVAnews
 Para eksportir Indonesia meminta pemerintah menghapus pungutan PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Eksportir memandang, PNBP dengan sistem pungutan yang belum sempurna ini justru menghambat kegiatan ekspor.

Padahal, menurut Ketua Ikatan Eksportir dan Importir Amalia Achyar, kegiatan eksportir yang dilakukan mendatangkan devisa.

"Karena kegiatan ini secara strategis menyumbang ke perekonomian makro, kami usul untuk ditiadakan," katanya usai konferensi pers di Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Tanjung Priok, Rabu 26 Agustus 2009. Menurut dia, eksportir sudah melayangkan surat ke Menteri Keuangan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengatakan Ditjen Bea dan Cukai tidak keberatan soal pembatalan ini. Namun, dia menekankan PNBP tidak hanya dipungut oleh Bea Cukai, tapi juga di Departemen lain seperti Kominfo, Departemen Perhubungan, Departemen Kesehatan dan lainnya.

"Kalau kami, supaya tidak repot, maunya juga dibebaskan," kata Anwar. Anwar mengatakan PNBP bisa dibebaskan karena jumlahnya relatif kecil dibandingkan devisa yang didatangkan.

Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Susiwidjono mengatakan besarnya PNBP Bea Cukai dari eskpor, per tahun hanya sekitar Rp 120 miliar.
"Itu berasal dari pungutan sebesar Rp 60 ribu per Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) jika itu secara elektronik, kalau dilakukan manual maka besarnya Rp 30 ribu," katanya.

Pungutan PNBP dilakukan, bukan sebagai pendapatan negara. Menurut Susiwidjono, PNBP untuk eskpor ini hanya boleh didgunakan untuk membiayai kegiatan demi perbaikan pelayanan.

PNBP dipungut sesuai dengan Undang-undang nomor 29 tahun 1997 tentang Pungutan PNBP dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2003 mengatur PNBP. Menurut Aturan ini dalam aktivitas Bea dan Cukai, PNBP yang bisa diambil hanya untuk PIB (pemberitahuan impor barang), PEB (pemberitahuan ekspor barang) dan manivest (dokumen pelayaran).
• VIVAnews

Senin, 12/7/2004, 8:31:20 WIB

Sejumlah Asosiasi Protes Biaya EDI

JAKARTA, investorindonesia.com
Sejumlah asosiasi pelaku usaha memprotes pengenaan biaya EDI (Electronics Data Interchange – pertukaran data elektronik) atas dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan pemberitahuan ekspor barang (PEB). Biaya EDI tersebut merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 44/2003. Mereka menuntut pemerintah mencabut PP tersebut.
Asosiasi-asosiasi tersebut antara lain Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Eksportir Indonesia (IEI), Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Asosiasi Pengusaha Garment Indonesia (APGI) dan Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel).
Menurut Ketua APGI, Natsir Mansur, surat keberatan telah disampaikan sejak PP No 44/2003 dinyatakan mulai berlaku, 1 Mei 2004 lalu. Sesuai PP tersebut, pemerintah menetapkan PNBP atas jasa pelayanan kepabeanan sebesar Rp 50-100 ribu per dokumen untuk PIB dan Rp 30-60 ribu per dokumen PEB.
Setiap perusahaan anggota APGI, kata Natsir, harus mengeluarkan biaya Rp 70-100 juta setiap bulannya akibat PP tersebut. “Berlaku dari Mei, berarti sudah 1,5 bulan saja sudah terasa beratnya. Jadi, saya mengusulkan agar PP No 44/2003 dicabut, bukan direvisi,” ujar dia kepada Investor Daily, Minggu (11/7).
Natsir menggambarkan kesulitan industri garmen dan industri tekstil di bawah API. Biaya produksi kedua industri itu membengkak akibat kenaikan upah, listrik, BBM dan bahan baku, serta PPN impor serat kapas. Selain itu, masalah yang dihadapi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) makin berat. Antara lain tumbuhnya kompetitor baru, harga jual ekspor yang makin susah bersaing, ditambah biaya ilegal dalam trade financing. Adanya PNBP, menurut dia, akan makin membebani cash flow dan penambahan modal kerja. Bahkan, PP ini mengakibatkan pengurangan tenaga kerja sebagai dampak penurunan kapasitas produksi.
''Kalau mau ikut hukum bisnis ada beban begituan, berarti kita bebankan saja ke konsumen. Tapi masalahnya kalau barangnya kita ekspor, berarti harga jual ekspornya jadi kemahalan. Jadi susah laku, dan kalah di persaingan pasar,'' jelas Natsir.
Keluhan serupa disampaikan Ketua Gabel, Lee Kang Hyun. Ia mencontohkan perhitungan beban biaya yang harus dikeluarkan industri elektronik dalam satu bulan. PT Indonesia Epson Industries mengeluarkan Rp 100 juta untuk PIB dan Rp 24 juta untuk PEB. Samsung Electronics mengeluarkan Rp 100 juta untuk PIB dan Rp 42 juta untuk PEB. Toshiba Consumer Products mengeluarkan Rp 40 juta untuk PIB dan Rp 24 juta untuk PEB.
PT LG Electronics Display Devices, kata Lee, mengeluarkan Rp 100 juta untuk PIB dan Rp 24 juta untuk PEB, sementara Matsushita Kotobuki Electronics mengeluarkan Rp 40 juta untuk PIB dan Rp 24 juta untuk PEB.
Tak Jamin Kelancaran
Sementara, Koordinator IEI, Amalia Achyar, dalam suratnya ke Depperindag mengungkapkan, pembayaran PNBP untuk EDI ini ternyata belum menjamin kelancaran arus dokumentasi.
Amalia juga menjelaskan, importir terkena charge administrasi bank sebanyak jumlah dokumen. Jika importir membayar PNBP PIB untuk 4 dokumen pada waktu bersamaan, tetap saja dikenakan biaya administrasi bank sebanyak 4 dokumen. Sehingga, anggota IEI harus mengeluarkan biaya PIB Rp 50,2 juta dan PEB Rp 133,48 juta dengan biaya administrasi bank sebesar Rp 27,125 juta. Total biaya terkait EDI menjadi Rp 182,355 juta sebulan.
Aksi serupa juga dilakukan GINSI. Surat Ketua GINSI, Amirudin Saud, kepada Menkeu mengatakan, Surat Keputusan Menkeu No 118/KMK.04/2004 dan PP No 44/2003 tersebut tidak konsisten dengan UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Oleh karena itu, GINSI berpendapat SK Menkeu tersebut cacat hukum.
Dalam UU No 20/1997 pasal 2 ayat 1 butir (d) disebutkan, kelompok PNBP antara lain berupa penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah. Sementara di lembaran negara 3687 disebutkan, jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari kegiatan yang dilaksanakan pemerintah, antara lain pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatiha, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor.
Sementara, PP No 44/2003 butir IV menetapkan, tarif atas jenis PNBP yang berlakupada Ditjen Bea dan Cukai berasal dari 6 jenis pelayanan. Yakni, dokumen impor (EDI/non-EDI), dokumen ekspor (EDI/non-EDI), cukai (EDI/non-EDI), kawasan berikat (EDI/non-EDI), manifest (EDI/non-EDI), dan perubahan post manifest (EDI/non-EDI). (kzy)
Harian 

Seputar Indonesia, 26 Agustus 2009

JAKARTA (SI) – Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai mengusulkan agar pungutan negara bukan pajak (PNBP) ekspor dihapuskan.Ini diharapkan dapat mendorong kinerja ekspor.

Direktur Jenderal Bea Cukai Anwar Suprijadi mengatakan, realisasi penghapusan PNBP memerlukan waktu karena harus mengubah peraturan pemerintah (PP). Itu belum termasuk pembebasan PNBP harus dilakukan secara menyeluruh karena kutipan semacam ini tidak hanya ada di Ditjen Bea Cukai.

“Tetapi juga di karantina, Departemen Perdagangan, dan (Departemen) Perhubungan, ”ujarnya saat menggelar jumpa pers di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A TanjungPriok,Jakarta,kemarin. Kendati demikian,dalam suratnya kepada Menteri Keuangan,Ditjen Bea Cukai tetap berharap penetapan PNBP dievaluasi ulang karena berpotensi menghambat aktivitas ekspor.

Anwar menjelaskan, PNBP dikutip untuk mengganti biaya pertukaran data elektronik. Dengan demikian,kata dia,jika nanti dibebaskan, biaya tersebut harus ditanggung negara. “Pertanyaannya apakah negara mampu menanggung semua kutipan PNBP tadi,”kata dia. Ditjen Bea Cukai mencatat, penerimaan PNBP dari pemberitahuan impor barang (PIB), pemberitahuan ekspor barang (PEB), dan manifes pada tahun lalu mencapai Rp120 miliar.

Sekitar Rp70–80 miliar di antaranya dipakai Ditjen Bea Cukai untuk membiayai pertukaran data elektronik tadi. Pengumpulan PNBP ekspor, kata dia, kadang terkendala, salah satunya, oleh sistem di Ditjen Bea Cukai. Dari sisi perbankan pun, sampai sekarang bank devisa persepsi yang menerima pembayaran PNBP belum mengoperasikan modul pembayaran secara online.

“Kadang saat eksportir mau bayar, bank sudah tutup,”kata dia. Lantaran alasan ini,banyak eksportir menunggak pembayaran PNBP.Sementara dalam sistem bea cukai,eksportir dan perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) yang belum membayar PNBP akan diblokir sehingga tidak bisa melakukan ekspor.

Usulan penghapusan ini mengemuka sejak adanya persoalan dalam implementasi sistem komputer pelayanan (SKP) ekspor yang baru di Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Soekarno-Hatta per 1 Agustus 2009. Salah satu permasalahan terkait pemblokiran eksportir dan PPJK lantaran menunggak pembayaran PNBP ekspor.

SKP ekspor secara otomatis memblokir eksportir yang menunggak pembayaran PNBP. Kalangan eksportir lalu memprotes dan meminta pemerintah mencari jalan keluar.Ditjen Bea Cukai akhirnya sepakat menunda pemblokiran eksportir dan PPJK sampai 20 September demi memperlancar ekspor.

“Jadi, sampai 20 September dipastikan tidak ada blokir kalau terjadi pelambatan pembayaran PNBP,” ujar Anwar. Namun, kata dia, bukan berarti eksportir dan PPJK dibebaskan PNBP. Bersamaan dengan itu eksportir dan PPJK harus mengajukan pembayaran berkala tunggakan PNBP sampai 1 Oktober.

Ditjen Bea Cukai pekan ini akan mengeluarkan surat edaran kepada seluruh kepala kantor untuk menerima pembayaran berkala. Tenaga pengkaji bidang pelayanan dan penerimaan Ditjen Bea Cukai Susi Wijono mengatakan, tunggakan PNBP sejak 2004 di Tanjung Priok mencapai Rp80 miliar. Ketua Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat Agus Gumilar mengapresiasi langkah cepat Ditjen Bea Cukaidenganmenundapemblokiran eksportir dan PPJK sampai 20 September.

Bea Cukai, kata dia, menyadari pemasukan ekspor adalah salah satu sumber devisa Indonesia. Tetapi,asosiasi masih menginginkan bea cukai lekas menyelesaikan satu hal,yakni menyangkut bank persepsi.“ Supaya bank persepsi bisa menerima pembayaran PNBP untuk impor juga dan kalau bisa transaksinya jangan dibatasi sampai pukul 10.00 seperti sekarang,”paparnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Eksportir Importir Indonesia Amalia Achyar mengatakan, pihaknya sejak 2004 sudah mengajukan keberatan soal PNBP.“Kita juga sudah melayangkan surat kepada Menkeu,” kata dia.Selain kadang mengganggu aktivitas ekspor impor,adanya kutipan PNBP seharusnya dibarengi dengan peningkatan pelayanan bea cukai.