Sunday, August 25, 2019

ALFI TEGASKAN LAYANAN CFS BERSIFAT B TO B

07 Jan 2019
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menegaskan, kehadiran container freight station (CFS) di pelabuhan Tanjung Priok, tidak ada kaitannya dengan penurunan biaya logistik nasional karena layanan jenis itu bersifat business to business.
Adil Karim, Sekum DPW ALFI DKI Jakarta mengatakan, fungsi CFS centre di Priok itu saat ini sama halnya dengan fasilitas pergudangan lainnya di wilayah pabean pelabuhan Priok yang juga menghandle kargo impor berstatus less than container load (LCL).
“Gak ada bedanya, justru kalau di CFS centre itu kan pembayaran receiving divery mekanik (RDM) dilakukan di depan,” ujarnya.
Adil juga mempertanyakan dari mana perhitungannya jika layanan CFS centre itu bisa menekan biaya logistik nasional.
“Hitungannya dari mana jika ada pihak yang mengaitkan dengan biaya logistik nasional. Kami nilai justru sebaliknya dengan adanya CFS centre di dalam pelabuhan berpotensi menambah kemacetan di dalam pelabuhan Priok dan kondisi ini malah berimbas pada perekonomian nasional akibat arus barang terhambat,” tegasnya.
Adil mengungkapkan sejak awal asosiasinya sudah mengingatkan bahwa lokasi fasilitas CFS centre di Priok itu keliru, dan seharusnya kalau mau siapkan fasilitas semacam itu jangan di dalam pelabuhan karena akan menyebabkan kemacetan trafic, tetapi disiapkan di luar pelabuhan.
“Kalau didalam pelabuhan gak efisien karena sekarang saja kondisinya macet apalagi kalau ada CFS centre. Jadi kami rasa para pelaku usaha logistik di Priok juga mempertimbangkan faktor efisiensi itu sehingga masih enggan menggunakan fasilitas CFS centre itu,” ujar Adil.
Menurutnya, layanan kargo impor bestatus LCL saat ini sudah dilayani di sejumlah fasilitas pergudangan di luar pelabuhan yang masih masuk wilayah pabean dan cukai pelabuhan Tanjung Priok.
Pada praktiknya, ujarnya, layanan kargo impor LCL yang ada di luar pelabuhan saat ini tidak ada masalah mengingat layanan ini kan sifatnya business to business  antara forwarder,  pemilik gudang dan pemilik barang.
Sejak Nopember 2017, PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC meluncurkan fasilitas CFS centre di pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan bagian program penataan pelabuhan guna mempercepat arus barang impor berstatus less than container load (LCL) dari dan ke pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
BERALIH KE FCL
Sementara itu, pemilik barang impor berstatus less than container load (LCL) mulai beralih dengan menyiasati importasi kargonya menggunakan full container load (FCL) melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Amalia, Ketua Umum Ikatan Importir Eksportir Indonesia (IEI) mengatakan, untuk menyiasati biaya penanganan kargo impor LCL yang masih tinggi saat ini umumnya para importir melakukan kalkulasi secara matang.
“Kita hitung terlebih dahulu mana yang efisien. JIka kargo impor diatas 10 meter kubik (cbm) bahkan ada yang hanya 5-7 cbm, saat ini dikirim dengan status FCL saja untuk mengindari biaya LCL yang tinggi di pelabuhan,”ujarnya.
Dia juga mengungkapkan, efektifitas keberadaan fasilitas pusat konsolidasi kargo atau container freight station /CFS centre di Pelabuhan Tanjung Priok sangat bergantung keinginan bersama.
Amalia menyarankan PT.Pelindo II Tanjung Priok selaku pengelola fasilitas tersebut mesti mempunyai agent consolidator di luar negeri.
Dia mengungkapkan, dari sisi pengguna jasa pelabuhan atau perusahan importir eksportir tidak punya pilihan layanan karena selama ini cargo LCL nya diserahkan kepada pihak forwarder, sehingga pemilik kargo tidak bisa memilih gudang LCL apakah di strippingnya di gudang dalam pelabuhan atau di CFS Center ataupun gudang luar pelabuhan.
“Soalnya para pengguna jasa beranggpan biaya gudang adalah biaya pelabuhan” ucapnya.
Oleh sebab itu, imbuhnya, idealnya fasilitas CFS Center dapat dimanfaatkan oleh forwarder-forwarder atau CFS Center mempunyai mitra forwarder/konsolidator yang memanfaatkan fasilitas tersebut selain digunakan oleh importir atau eksportir langsung.
Dengan begitu diharapkan para importir punya daftar forwarder yang sudah memanfaatkan CFS center, sama halnya dengan terminal kontainer kapal yang sandar diterminal tersebut kapal apa saja, sehingga pada saat pengiriman cargo bisa merekomendasikan nama forwarder ke pihak.
Berdasarkan data layanan CFS centre Priok, saat ini fasilitas tersebut mampu melayani 6000 s/ 7000 dokumen kargo impor LCL perbulan yang berasal dari muatan kargo 1.300 twenty foot equivalent units (TEUs) setiap bulannya.
PT.Pelindo II mengatakan kendali pengelolaan fasitas CFS Centre kini berada di manajemen cabang Pelindo II Tanjung Priok.

Lewat CFS Pelayanan Pelabuhan Tanjung Priok Lebih Transparan

02 September 2018
JawaPos.com - Sejak kehadiran fasilitas pusat konsolidasi kargo atau Container Freight Station (CFS) pada 20 November 2017 lalu, pelayanan Pelabuhan Tanjung Priok lebih cepat, efisien, transparan, dan tertib. Ini terjadi karena tidak ada lagi pengutan dan biaya tak terduga yang harus ditanggung pengguna jasa atau pemilik barang. Oleh karena itu, pebisnis di pelabuhan tersibuk di Indonesia ini mengapresiasi kehadiran fasilitas tersebut.
“Hadirnya CFS di Jakarta yang mungkin akan disebut CFS centre akan memberi manfaat positif secara komersial tidak hanya biaya namun hingga waktu. Khususnya buat kargo impor dengan kontainer berstatus LCL via Pelabuhan Priok,” ujar Pengamat Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Saut Gurning, Minggu, (2/9).
Di samping itu, kata Saut, juga potensinya mengurangi dampak negatif terkait biaya mahal biaya pergudangan dan forwarding, biaya kepabeanan, tingkat kemacetan angkutan darat, dan lamanya proses kepabeanan. Intinya potensi pengurangan biaya logistik mungkin dapat terealisasi bukan hanya bagi para pemilik barang atau trader di sekitar hinterland Pelabuhan Tanjung Priok.
“Namun juga bagi Indonesia secara umum karena porsi perdagangan ekspor-impor Indonesia secara nilai khususnya kontainer sekitar 65 persen dilewati melalui Pelabuhan Tanjung Priok,” paparnya.
Ia menjelaskan, keuntungan utama yang diharapkan dari tersedianya CFS Centre di Pelabuhan Tanjung Priok secara bisnis adalah terjadinya mekanisme single billing yang mengurangi praktek mendongkrak biaya lewat berbagai additional charges yg selama ini dilakukan berbagai pelaku usaha. Khususnya untuk komponen biaya pergudangan, penumpukan, forwarding dan biaya kepabeanan khususnya kargo impor lewat kontainer berstatus LCL. Secara tidak langsung proses single billing ini juga berpotensi mengurangi level dwelling-time dan pada akhirnya biaya logistik barang per satuan kubik-meter (CBM).
“Diharapkan tentunya dengan CFS center ini biaya-biaya pergudangan kontainer impor LCL untuk komponen receiving, deluvering dan mekanis diharap dapat lebih menurun lagi dari angka sekitar Rp 150.000 per CBM. Termasuk untuk layanan kargo barang berbahaya, dangerous goods (DG),” katanya.
Dampak positif ini sangat mendukung untuk peningkatan daya saing industri nasional yang sering kali berbenturan dengan semakin kompetitif biaya logistik internasional. Sementara jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, maupun China, ongkos logistik di Indonesia masih tergolong tinggi. Dalam peringkat indeks logistik, Indonesia pun masih berada di bawah negara-negara tersebut.
Dengan adanya bentuk pengoperasian CFS di Pelabuhan Tanjung Priok yang diprakarsai oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/IPC sebagai operator pelabuhan milik BUMN sangat membantu para pebisnis.
Seperti diketahui, CFS merupakan fasilitas penyimpanan kontainer impor berstatus less than container load (LCL) yang masih dalam pengawasan kepabeanan. Keberadaan CFS dimaksudkan untuk memperlancar arus barang dan pengurusan dokumen pelabuhan. Dengan fasilitas tersebut diharapkan biaya impor bisa dipangkas hingga 10 persen.
Belum lama ini, Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI) Amalia mengatakan kehadiran fasilitas CFS Centre di Tanjung Priok sekaligus diharapkan biaya layanan pergudangan lebih tertib.
“Dengan single billing di CFS Center tidak ada pungutan atau biaya yang aneh aneh yang harus ditanggung pengguna jasa atau pemilik barang, misal seperti biaya devaning,” ujarnya.
Dia menegaskan, sepanjang biaya lebih effisien, transparan, dan pelayanan lebih cepat, maka
IEI menyambut baik adanya fasilitas CFS Center itu. Dengan adanya fasilitas itu, diharapkan pengambilan delivery order (DO) tidak harus ke beberapa lokasi.
Sejauh ini, fasilitas CFS Center di Priok mampu melayani 400-an transaksi (billing) layanan pergudangan untuk kargo impor less than container load (LCL) setiap harinya dengan kecepatan layanan dokumen billing mencapai 2 menit per dokumen. Sebelumnya, layanan dokumen billing di Priok rata-rata 7 menit per dokumen.
CFS Center merupakan fasilitas yang ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna jasa dalam bertransaksi serta transparansi dalam hal biaya yang dikeluarkan. Dengan integrasi CFS di Pelabuhan Tanjung Priok, IPC optimis bahwa volume penanganan container LCL akan terus meningkat.
“Hal ini terlihat sejak dibuka pada 20 November 2017, volume transaksi mengalami lonjakan yang signifikan,” ujar Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha IPC Saptono R. Irianto.
CFS hadir agar proses pelayanan menjadi ringkas dan sederhana sehingga menjadi efisien bagi pengguna jasa, dimana integrasi CFS mencakup data pelanggan, CFS booking service, layanan nota, pembayaran, tracking kargo dan customer care.

Pengusaha sebut fasilitas kawasan berikat dan KITE bisa dorong ekspor

KONTAN.CO.ID - JAKARTASenin, 18 Februari 2019 / 17:48 WIB
Sebagai salah satu upaya untuk mendorong ekspor, pemerintah telah memberikan insentif di bidang kepabeanan dan pajak yakni fasilitas Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Wakil Presiden Direktur PT Pan Brohters Tbk Anne Patricia Sutanto mengatakan, adanya fasilitas dan kemudahan proses yang diberikan pemerintah memberikan banyak manfaat kepada pengusaha, khususnya dalam mendorong kinerja ekspor.

Pengusaha yang mendapatkan fasilitas kawasan berikat ini berpendapat, sejak adanya perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018, pengusaha tak hanya terbantu dari sisi arus tetapi menjadi lebih efisien dari sisi waktu.
"PMK 131 ini membuat kita jauh lebih efisien karena itu mempercepat kita untuk impor dan eskpor, karena yang dipentingkan adalah lead time untuk bisa sampai ke negara tujuan," ujar Anne, Senin (18/2).
Hal yang sama pun diungkapkan oleh Ketua Lmum Ikatan Eksportir Importir Amalia, sebagai salah satu pengusaha yang mendapatkan fasilitas KITE. Dia mengatakan, adanya fasilitas yang diberikan pemerintah membuat barang yang akan dieskpor menjadi lebih kompetitif dibandingkan negara lain. "Fasilitas ini pasti bisa mendorong ekspor karena harga bisa bersaing," terang Amalia.
Menurut Amalia, adanya fasilitas ini memang sangat mempengaruhi kelancaran cashflow perusahaan. Apalagi, pemerintah memberikan pembebasan bea masuk dan/atau PPN atau PPnBM serta fasilitas pengembalian bea masuk dan/atau cukai yang telah dibayar dengan syarat barang yang diimpor harus diekspor kembali. Dia pun menambahkan, fasilitas yang diberikan pemerintah masih sangat diminati oleh banyak pengusaha.
Berdasarkan Survei Dampak Ekonomi Fasilitas Kawasan Berikat dan KITE sepanjang 2017 yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan University Network for Indonesia Export Development (UNIED), nilai ekspor dari fasilitas ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
Berdasarkan survei yang dilakukan, ekspor KB dan KITE di 2017 mencapai Rp 780,81 triliun atau menyumbang 34% terhadap total ekspor nasional. Nilai ekspor ini merupakan kontribusi dari KB sebear Rp 634,1 triliun dan ekspor KITE sebesar Rp 146,7 triliun. Sementara, ekspor di 2016 mencapai Rp 737,7 triliun atau sebesar 37,37% ekspor nasional.
Nilai ekspor tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai impor. Dimana impor KB dan KITE di 2017 sebesar Rp 325,7 triliun, dimana impor KB sebesar Rp 284,4 triliun dan KITE sebesar 31,3 triliun. Total impor di 2017 ini meningkat dibandingkan 2016 yang sebesar Rp 242,1 triliun.

Wednesday, September 4, 2013

Hard Copy SE-13/BC/2013

Buat rekan2 yg belum mengetahui,  SE-13/BC/2013 tertanggal 02 Agustus 2013 perihal: PENANGANAN TERHADAP BEBERAPA PERMASALAHAN IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 253 DAN 254, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-15/BC/2012, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-16/BC/2012, DAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR SE-05/BC/2013. sudah dipublish via millis IEI

Salam,

Admin

Tuesday, February 7, 2012

IEI dalam menyikapi kebijakan DHE

Importir Luar Negeri belum Terlalu Percaya Bank Lokal



EKSPORTIR menyambut baik rencana bank sentral mewajibkan mereka menyimpan dana di perbankan dalam negeri. Namun, bank diingatkan agar memperbaiki pelayanan dan rnembangun kepercayaan pembeli di luar negeri.
"Ini kebijakan yang sangat baik. Kita juga ingin mendukung perbankan dalam negeri. Tetapi perlu ada komitmen per-bankan dalam hal pelayanan dan korespondensi luar negeri," ujar Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Amalia Achyar, Sabtu (10/9).
Bank Indonesia (BI) berencana mewajibkan devisa hasil ekspor dan pinjaman luar negeri, baik pemerintah dan swasta, disimpan di bank di dalam negeri. Pengaturan itu bertujuan memperkuatsuplai likuiditas valuta asing dalam negeri {Medio Indirtesia, 10/9).
BI mencatat devisa hasil ekspor yang disimpan di bank luar negeri sampai Juli ini US$29,5 miliar dan pinjaman luar negeri yang tidak masuk di perbankan nasional sekitar US$2, s miliar.kebijakan BI akan dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) yang terbit bulan ini.
Menurut Amalia, banyak eksportir v.ing menyimpan dana di sistem keuangan luar negeri karena pertimbangan minimnya kepercayaan pembeli (importir) terhadap bank-bank di dalam negeri
"Buyei lebih percaya pada lembaga keuangan atau bank asing, sehingga eksportir ter-p.iks.i buka id mini (rekening) di luar negeri," jelasn
Selain itu, Amalia menam-bahkan, eksportir cenderung memilih bank di luar negeri karena pelayanannya lebih cepat ketimbang bank dalam negeri. Bagi ptnguihj waktu adalah uang. Kelambanan pelayanan berakibat kerugian bagi mereka.
Apalagi, selama ini peng-usaha juga kerap kesulitan mendapatkan kredit dari bank dalam negeri. Hal itu semakin mendorong banyak eksportir beralih ke bank di luar negeri "Jadi harus ada komitmen perbankan dalam negeri untuk tidak mempersulit kredit. Selama ini perbankan dalam negeri terlalu tidak mau ambil risiko," jelasnya (AI/Ant/X-10)

Menyikapi Regulated Agent (RA)

Kargo Lambat, Usaha Makanan Rugi Besar


Keterlambatan kargo akibat penerapanagen inspeksi merusak makanan dan minumandengan masa kedaluwarsa pendek.

Gayatri Suroyo

Al L RAN baru peme-riksaan kargo dengan regulated agent (RA) atau agen inspeksi terus dikeluhkan pelaku usaha. Keluhan terakhir datang dari industri makanan dan minuman.
Keterlambatan pengiriman barang akibat pemberlakuan RA temyata telah membuat mas.) jual produk di toko semakin pendek. Bahkan ada barang yang rusak HM Sekretaris lenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani mengungkapkan hal itu kepada Media Inda, Jakarta, kemarin.
Ia mengaku belum dapat mengestimasi nilai kerugian industri makanan dan minuman akibat pemberlakuan K \ Namun, Franky memastikan jumlahnya cukup besar.

" terjadi keterlambatan sangat serius dari sisi waktu. Produk pangan ini kan bukan hanya masa Hfc cyc/e-nya sangat terbatas, beberapa produk jadi masalah sangat serius. Artinya, dampaknya terjadi kelambatan pemasukan dan mengakibatkan kerusakan KW... Menurut kami, ini berat sekali," jelas Franky.
Beberapa produk makanan dan minuman bisa bertahan hingga enam bulan, misalnya makanan kaleng, atau tahunan misalnya rendang. Namun, beberapa produk lainnya lebih cepat rusak, semisal susu karton.
"Banyak yang life eyde-nya di bawah tiga bulan. Yang seperti ini kan diharapkan masa jual bisa lebih panjang," kata Franky.

Kerugian tak hanya dari segibarang. lrank\ juga mengeluhkan biaya RA \ ang naik tidak wajar dari Rpt5/kg menjadi Rp850/kg.Naik 20%
Di sisi lain. Ketua Lmum Ikatan Eksportir Importir Amalia  mengatakan, akibat pemberlakuan RA, biaya yang mereka keluarkan naik 1H-20. dari normal. Itu kerugian akibat penaikan tarif pengiriman dan keterlambatan, belum termasuk kerusakan barang produk cepat kedaluwarsa.
"Saran kami, RA itu alatnya jangan ada di bandara saja, tetapi juga ada di gudang. Jadi, kami enggak ada tambahan ongkos bongkar dan ongkos tracking," kata Amalia.

Saal menanggapi keluhan itu, jubir Kementerian Perhubungan Bambang S Ervan mengatakan Kementerian Perhubungan dan tim ke-riln) .i saat ini tengah mengevaluasi penerapan RA terkait tarif pemeriksaan dan prosedurmenja-di RA. "Bahkan akan ada kebijakan insentit. Kelak untuk menjadi operator RA tidak perlu membuat badan hukum baru. Akan tetapi, mereka tetap harus punya kemampuan memeriksa sesuai dengan standar RA," kata Bambang.
Di sisi lain, menurut pemantauan Angkasa Pura II, aktivitas bongkar muat di Bandara Soekarno-Hatta berjalan normal.

Kalaupun ada keterlambatan pengiriman, itu masih dalam cakupan on time performance yang ditetapkan pemerintah. Sejauh ini juga tidak ada yang mogok," ujar Corporate Secretary Angkasa Pura II Hari Cahyono. (*/X-9)gayatri@mediaindonesia.com

Menyikapi Barang Impor Ilegal

Jabar Jadi Pasar Barang Impor Ilegal


BANDUNG, (PRLM).-Krisis finansial dunia diduga menyebabkan Jawa Barat kebanjiran produk impor ilegal. Dengan jumlah penduduk yang besar, belum optimalnya penangkalan penyelundupan, dan masih lemahnya daya saing produk, membuat Jawa Barat menjadi pasar yang sangat menarik untuk para eksportir asing. 

Demikian benang merah dari wawancara terpisah dengan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar, dan Ketua Ikatan Eksportir Importir Indonesia. Mereka menilai kondisi tersebut harus segera diantisipasi, karena akan semakin menekan sektor produksi Jabar yang saat ini sedang menghadapi masa sulit.

"Dengan semakin banyak sektor produksi kita yang kalah oleh produk impor, ancaman peningkatan angka pengangguran dan penduduk miskin akan semakin meningkat," ujar Ketua Kadin Jabar, Agung Suryamal Sutisno, Selasa (31/3).
Dikatakan, membanjirnya produk impor ke Jabar, merupakan hal yang logis. Karena dengan adanya krisis, negara-negara tujuan ekspor tradisional berkurang daya serapnya. Sehingga para eksportir dunia harus mencari pasar-pasar ekspor nontradisional, dan Jabar merupakan salah satuya yang potensial.

Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Agung, kata kuncinya adalah meningkatkan daya saing produk. Karena dengan masuknya Indonesia dalam WTO dan dalam era perdagangan bebas saat ini, sangat sulit untuk menerapkan proteksi produk. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang menodorong penngkatan daya saing sangat diperlukan.

"Riilnya, penurunan suku bunga, permudahan dan pemurahan perijinan usaha, pengurangan ketergantungan bahan baku, pendorongan sentimen cinta produk dalam negeri, dan hal-hal yang mendukung iklim usaha kondusif, akan menaikan daya saing produk. Jelas untuk itu perlu sinergi efektif dari berbagai pihak," katanya.

Sementara Ketua Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia, Amalia Achyar mengatakan perlunya segera dilakukan reformasi dalam perijinan di dunia usaha. Karena banyaknya aturan yang tumpang tindih, tidak konsisten, dan memberatkan, menjadi salah satu faktor utama yang mengurangi kemampuan dunia usaha. Baik dalam hal meningkatkan daya saing produk, maupun untuk mengembangkan usaha.

"Menurut hitung-hitungan kami jika semua aturan, mulai dari Undang-Undang sampai ke Peraturan di tingkat Kota/Kab dalam kondisi agak ideal, bisa menurunkan harga-harga produk 15%-20% ," katanya. (A-135/A-190/A-